Diberdayakan oleh Blogger.
Blue Flower Design Pointer
RSS
Post Icon

Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Rosulullah SAW

Kawan.....

Penting juga lho kita mengetahui tentang pendidikan Islam pada masa Rosulullah,
Bagi kawan-kawan yang ingin mengetahui sejarah pendidikan Islam,
Silahkan dilihat di file berikut ini....

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, juga diakui sebagai kekuatan yang dapat membantu masyarakat mencapai kemegahan dan kemajuan peradaban, tidak ada suatu prestasi pun tanpa peranan pendidikan. Kejayaan Islam di masa klasik telah meninggalkan jejak kebesaran Islam di bidang ekonomi, politik, intelektualisme, tradisi-tradisi, keagamaan, seni, dan sebagainya. Begitu pula dengan kemunduran pendidikan Islam, telah membawa Islam berkubang dalam kemundurannya. 
Kajian tentang pendidikan Islam pada masa Rosulullah SAW amatlah penting untuk ditelaah kembali sebagai rujukan dan pijakan dalam melaksnakan pendidikan di masa kini dan masa yang akan datang, agar norma-norma dan nilai-nilai ajaran Islam tetap utuh selamanya. Profil Rosulullah  SAW baik sebagai peserta didik atau murid maupun sebagai pendidik atau guru, potret Rosulullah ini merupakan motivasi dan panduan bagi umat Islam dalam melajutkan pendidikan. Proses pendidikan tidak terlepas dari dua komponen dari pendidik dan peserta didik, dalam hal pendidikan Islam Rosulullah SAW adalah pendidik pertama dan utama dalam dunia pendidikan Islam. Proses transformasi ilmu pengetahuan, internalisasi nilai-nilai spiritualisme dan bimbingan emosional yang dilakukannya dapat dikatakan sebagai mukjizat luar biasa, yang manusia apapun dan dimanapun tidak dapat melakukan hal yang sama.
Gambaran dan pola pendidikan Islam di periode Rosulullah SAW pada fase Mekah dan Madinah merupakan sejarah masa lalu yang perlu diungkapkan kembali, sebagai bahan pertimbangan, sumber gagasan, gambaran strategi dalam menyukseskan pelaksanaan pendidikan Islam. Oleh karena itu dalam makalah ini akan kami bahas beberapa hal terkait dengan Perkembanagn Pendidikan Islam pada masa Rasulullah baik itu pada periode Makkah maupun pada periode Madinah.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pola pendidikan Islam pada masa Rasulullah ?
2.      Apa saja lembaga pendidikan yang ada pada masa Rasulluh ?
3.      Bagaimana kurikulum dan materi yang diajarkan oleh Rasulullah ?
4.      Apa metode digunakan oleh Rasulullah ?
5.      Bagaimana cara Rasulullah mengevaluasi para sahabatnya ?
6.      Apakah perbedaan antara pendidikan Islam periode Makkah dan Madinah ?
7.      Kebijakan apa yang diambil Rasulullah dalam bidang pendidikan ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pola pendidikan Islam pada masa Rasulullah
2.      Untuk mengetahui lembaga pendidikan yang ada pada masa Rasulullah
3.      Untuk mengetahui kurikulum dan materi yang diajarkan oleh Rasulullah
4.      Untuk mengetahui metode yang digunakan oleh Rasulullah
5.      Untuk mengetahui cara Rasulullah mengevaluasi para sahabatnya
6.      Untuk mengetahui perbedaan antara pendidikan Islam periode Makkah dan Madinah
7.      Untuk mengetahui kebijakan yang diambil Rasulullah dalam bidang pendidikan









BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah
1.      Pola Pendidikan
Pola pendidikan pada zaman Nabi dapat dibedakan menjadi 2 tahap, baik dari segi waktu dan tempat penyelenggaraan, maupun dari segi isi dan materi pendidikannya, yaitu :
a.       Tahap/fase Makkah, sebagai awal pembinaan pendidikan Islam, dengan Makkah sebagai pusat kegiatannya
Nabi Muhammad SAW mulai menerima wahyu dari Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril sebagai petunjuk dan instruksi untuk melaksanakan tugasnya, pada waktu beliau telah mencapai umur 40 tahun, yaitu ketika beliau bertahannus di Gua Hira’. [1] Adapun wahyu yang diterima pertama kali itu adalah surat Al-‘Alaq ayat 1 s/d 5 yang artinya :
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal dara. Bacalah demi Tuhanmu yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Yang mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahui”.
Kemudian turunlah wahyu yang kedua yakni surat Al – Muddatsir ayat 1-7 yang arinya:
Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah. dan perbuatan dosa tinggalkanlah. dan janganlah kamu member (dengan maksud) memperoleh '(balasan) yang lebih banyak. dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”
Dengan turunnya surat Al-’Alaq serta dilanjutkan dengan surat Al-Muddatsir di mana kedua wahyu tersebut memberi perintah dan petunjuk kepada beliau tentang apa yang harus dilakukan, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap umatnya. Itulah petunjuk awal agar beliau memberikan peringatan kepada umatnya. Kemudian materi tersebut diturunkan secara berangsur-angsur. Setiap beliau menerima wahyu, maka beliau segera menyampaikan wahyu tersebut kepada umatnya, serta diiringi penjelasan-penjelasan dan contoh-contoh bagaimana pelaksanaannya.[2]
Di samping itu, beliau juga mendidik umatnya secara bertahap. Pada awalnya beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Beliau memulai dari keluarga dekatnya, yaitu istrinya (Siti Khodijah), anak angkatnya (Ali bin Abi Tholib), dan pembantunya (Zaid bin Tsabit). Kemudian beliau melanjutkan dakwahnya kepada  sahabat karibnya (Abu Bakar As-Shidiq) yang segera menerima ajarannya. Secara berangsur-angsur dakwah tersebut disampaikan secara lebih meluas. Namun, masih terbatas pada kalangan keluarga dekat dari suku Quraisy saja. Diantaranya Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jarrah, Arqam bin Abil Arqam, Fatimah binti Khattab beserta suaminya (Said bin Zaid), dan beberapa orang lainya. Mereka itulah orang-orang yang disebut dengan Assabiqunal Awwalun.[3] Pada tahap awal ini, pusat kegiatan Islam tersebut diselenggarakan secara tersembunyi di rumah Arqam bin Al Arqam. Keadaan demikian itu berlangsung selama 3 tahun. Sampai akhirnya turun petunjuk dan perintah dari Allah agar nabi memberikan pendidikan secara terbuka yang artinya:
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”
Dengan turunnya ayat tersebut, maka mulai-lah Muhammad memberikan pengajaran kepada umatnya secara terbuka dan meluas, bukan hanya di lingkungan keluarga dan sahabat, tetapi juga kepadapenduduk di luar Makkah, terutama mereka yang baru datang ke Makkah, baik dalam rangka ibadah haji maupun perdagangan. Dengan demikian tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad semakin terbuka. Tetapi semua itu dihadapinya dengan penuhkesabaran serta penuh keyakinan bahwa Allah akan selalu memberikan petunjuk dan pertolongan untuk menghadapi semua tantangan tersebut.[4]
b.      Tahap/fase Madinah, sebagai fase lanjutan pembinaan/pendidikan Islam dengan Madinah sebagai pusat kegiatannya.
Hijrah dari Makkah ke Madinah bukan hanya sekedar berpindah dan menghindarkan diri dari tekanan dan ancaman kaum Quraisy dan penduduk Makkah yang tidak menghendaki pembaharuan terhadap ajaran nenek moyang mereka, tetapi juga mengandung maksud untuk mengatur potensi dan menyusun kekuatan dalam menghadapi tantangan-tantangan lebih lanjut, sehingga akhirnya nanti terbentuk masyarakat baru yang didalamnya bersinar kembali mutiara tauhid warisan Nabi Ibrahim AS yang akan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW melalui wahyu Allah SWT.[5]
Sebelum hijrah ke Madinah (nama sebelumnya Yatsrib) telah banyak di antara penduduk kota Makkah yang memeluk Islam. Penduduk Madinah pada mulanya tediri dari suku-suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi, yang saling berhubungan dengan baik. Dari bangsa Yahudi tersebut suku-suku bangsa Arab sedikit banyak mengenal Tuhan, agama Nabi Ibrahim, dan sebagainya.Sehingga setelah ajaran Islam sampai kepada mereka, mereka lebih mudah menerimanya.
Penduduk Madinah yang sudah menjadi sahabat Nabi, mereka tertarik dan memohon kepada Nabi Muhammad SAW agar mengutus seseorang untuk mengajarkan ajaran Islam kepada mereka, Nabi menyetujui tawaran tersebut dan mengutus Mus’ab bin Umair menjadi pengajar mereka.   Pada tahun 12 dari kenabian, datang 75 orang muslim Madinah untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah, sekaligus mengundang Rosulullah SAW untuk datang ke Madinah. Mereka juga berjanji untuk memberi perlindungan kepada Rosulullah SAW seperti yang disebutkan dalam Baiat Aqabah II.[6]

2.      Lembaga dan Sistem Pendidikan
Lembaga pendidikan Islam pada fase Makkah ada dua tempat, yaitu: Darul Arqam/rumah Arqam ibn Arqam dan Kuttab. Kuttab adalah lembaga pengajaran baca tulis untuk anak-anak (tingkat dasar), terutama membaca Al-Qur’an.[7] Ahmad Syalaby mengatakan bahwa Kuttab sebagai lembaga pendidikan terbagi dua, yaitu;
1)      Kuttab sebagai lembaga pengajaran baca tulis dengan teks dasar puisi-puisi Arab. Kuttab jenis pertama ini merupakan lembaga pendidikan dasar yang hanya mengajarkan baca tulis. Pada mulanya pendidikan Kuttab berlangsung di rumah-rumah para guru atau di pekarangan sekitar Masjid. Materi yang diajarkan dalam pelajaran baca tulis ini adalah puisi atau pepatah-pepatah arab yang mengandung nilai-nilai tradisi yang baik. Kebanyakan guru Kuttab pada masa awal Islam adalah non muslim, sebab Muslim yang dapat membaca dan menulis jumlahnya masih sedikit dan mereka masih sibuk dengan pencatatan wahyu.
2)      Kuttab sebagai lembaga pengajaran Al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam. Pengajaran teks Al-Qur’an pada jenis Kuttab yang kedua ini, setelah qurra’ dan huffadh (ahli bacaan dan penghafal Al-Qur’an telah banyak). Guru yang mengajarkan adalah dari umat Islam sendiri. Jenis institusi ini merupakan lanjutan dari Kuttab tingkat pertama, setelah siswa memiliki kemampuan baca tulis. Pada Kuttabini siswa diajari pemahaman Al-Qur’an, dasar-dasar agama Islam, juga diajarkan ilmu gramatika bahasa Arab, dan aritmatika. Sementara Kuttab yang dimiliki oleh orang-orang yang lebih mapan kehidupannya, terdapat materi tambahan yaitu menunggang kuda dan berenang.[8]
Ketika Rosulullah SAW dan para sahabat hijrah ke Madinah, salah satu program pertama yang beliau lakukan adalah pembangunan sebuah masjid. Meskipun demikian, eksistensi Kuttab sebagai lembaga pendidikan di Madinah tetap dimanfaatkan. Bahkan materi dan penyajiannya lebih dikembangkan lagi, misalnya materi jual beli, keluarga, sosio-politik, tanpa meninggalkan materi yang sudah biasa dipakai di Makkah seperti materi tauhid dan akidah.
Dalam sejarah Islam, masjid yang pertama kali dibangun oleh Nabi adalah masjid At-Taqwa di Quba. Rosulullah SAW juga membangun sebuah ruangan di masjid Madinah, tempat ini di sebut As-Suffah, yang berarti tempat belajar untuk tempat tinggal orang-orang fakir miskin yang tekun menuntut ilmu.[9] Mereka dikenal dengan “Ahli Suffah“. Pembangunan masjid tersebut bertujuan untuk memajukan dan menyejahterakan kehidupan umat Islam. Di samping itu, masjid juga memiliki multifungsi, di antaranya sebagai tempat ibadah, kegiatan sosial-politik, selain itu masjid juga digunakan sebagai pusat dan lembaga pendidikan Islam.
Nakoesteen sebagaimana yang dikutip Hasan Asari mengatakan bahwa pendidikan Islam yang berlangsung di masjid adalah pendidikan yang unik karena memakai sistem halaqah (lingkaran). Sang syekh biasanya duduk di dekat dinding atau pilar masjid, sementara siswanya duduk di depannya membentuk lingkaran dan lutut para siswa saling bersentuhan.Sebuah halaqah biasanya teridiri dari 20 orang siswa atau murid. Sistem pembelajaran halaqah tersebut adalah bentuk pendidikan yang tidak hanya menyentuh perkembangan dimensi intelektual, melainkan lebih menyentuh pada dimensi emosional dan spiritual peserta didik. Dalam halaqah biasanya murid yang pengetahuannya lebih tinggi duduk berada di dekat Syekh, sedangkan murid yang level pengetahuannya lebih rendah akan duduk lebih jauhdengan sendirinya. Para peserta didik juga saling belajar sungguh-sungguh agar dapat mengubah posisinya dalam konfigurasi halaqah-nya, sebab posisi dalam halaqah menjadi sangat signifikan dengan sendirinya, meskipun tidak ada batasan secara resmi.
Metode diskusi dan dialog kebanyakan digunakan dalam berbagai halaqah. Dikte (imla’) juga memiliki peranan penting dalam halaqah, tergantung pada kajian dan topik bahasan. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan oleh syekh atas materi yang telah didiktekan. Uraian pembahasan juga disesuaikan dengan kemampuan peserta halaqah. Kemudian menjelang akhir kelas, waktu akan dimanfaatkan oleh syekh untuk mengevaluasi kemampuan peserta halaqah. Evaluasi bisa berbentuk tanya jawab, terkadang juga syekh menyempatkan untuk memeriksa catatan siswa-siswanya untuk  mengoreksi dan menambahkan seperlunya. Kemajuan suatu halaqah ini tergantung kepada kemampuan syekh dalam pengelolaan sistem pendidikan. Biasanya apabila suatu halaqah telah maju, maka akan banyak dikunjungi para peserta didik dari berbagai penjuru.

3.      Materi dan Kurikulum Pendidikan
Salah satu komponen operasional pendidikan Islam adalah kurikulum yang mengandung materi yang diajarkan secara sistematis dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada hakikatnya antara  materi dan kurikulum mengandung arti yang sama, yaitu bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikandalam suatu sistem institusional pendidikan. Seseorang yang akan membuat rencana pembelajaran tidak cukup hanya mempunyai kemampuan membuat rumusan tujuan pembelajaran. Namun, ia juga harus menguasai materi pembelajaran.
Kurikulum pendidikan Islam pada periode Rosulullah SAW baik di Makkah maupun Madinah adalah Al-Qur’an, yang Allah wahyukan  sesuai dengan kondisi, situasi, kejadian dan peristiwa yang dialami umat Islam saat itu. Karena itu dalam prakteknya tidak hanya logis dan rasional, tetapi juga secara fitrah dan pragmatis. Hasil dari cara yang demikian itu dapat dilihat dari sikap rohani dan mental para pengikutnya yang dipancarkan ke dalam sikap hidup yang bermental dan semangat yang tangguh, tabah dan sabar, serta aktif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam perkembangan sejarah selanjutnya ternyata mereka ini merupakan kadar inti mubaligh dan pendidik pewaris Nabi yang brilian dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan.[10]
Mahmud Yunus mengklasifikasikan materi pendidikan menjadi dua macam, yaitu materi pendidikan yang diberikan di Makkah dan materi pendidikan yang diberikan di Madinah.Yakni :[11]
a.         Pada fase Makkah terdapat empat macam intisari materi yang diberikan, yaitu:
1)        Pendidikan Keagamaan
Yaitu hendaknya membaca dengan nama Allah semata jangan dipersekutukan dengan nama berhala, karena Allah itu Maha Besar dan Maha Pemurah.
2)      Pendidikan Aqliyah dan Ilmiah
Yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta.
3)      Pendidikan Akhlak dan Budi Pekerti
Yaitu Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.Seperti: adil, menepati janji, pemaaf, tawakal, bersyukur atas nikmat Allah, tolong menolong, berbuat baik kepada orang tua, memberi makan orang miskin dan orang musafir, serta  meninggalkan akhlak yang buruk.
4)      Pendidikan Jasmani atau Kesehatan.
Yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan, dan tempat tinggal.
b.        Pada fase Madinah terdapat lima macam intisari materi yang diberikan, yaitu:
1)        Pendidikan keimanan
Pendidikan keimanan tentang keimanan yang diperkuat dengan keterangan-keterangan yang dibacakan oleh Nabi dari ayat-ayat Al-Qur’an serta sabda beliau sendiri.
2)        Pendidikan ibadah
Untuk ibadah shalat selain shalat 5 waktu sebagimana yang disampaikan di makkah, ibadah ini ditambah dengan shalat Jumat sebagai ganti shalat Dhuhur, serta shalat-shalat sunnah lainnya seperti shalat Idul Fitri dan Idul Adha
3)        Pendidikan akhlak
Pendidikan akhlak yang diberikan di sini lebih terperinci dari pada di Makkah, seperti adab masuk rumah, bertetangga, bergaul dalam masyarakat, dan lain-lain.
4)        Pendidikan kesehatan (jasmani)
Pendidikan kesehatan (jasmani) dapat dilihat dari dalam amal ibadah yang dilakukan sehari-hari, seperti puasa, shalat wudhu, dan mandi.
5)        Pendidikan kemasyarakatan (sosial)
Syariat yang berhubungan dengan masyarakat misalnya; hukum perkawinan, hukum warisan, hukum perdana, hukum perdata, qishash, ta’zir, dan lain sebagainya.[12]
Selain itu, Zukhairini juga membagi materi pendidikan yang dijelaskan pada fase Makkah dan Madinah, di antaranya sebagai berikut:[13]
a.         Pada fase makkah terdapat dua materi yang diberikan yakni:
1)        Pendidikan Tauhid
Pada materi pendidikan tauhid ini lebih difokuskan pada untuk memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim yang telah diselewengkan oleh masyarakat jahiliyah. Rasulullah langsung menjadi contoh bagi umatnya. Hasilnya, kebiasaan masyarakat Arab yang memulai perbuatan atas nama berhala, diganti dengan ucapan bismillahirrahmanirrahim. Kebiasaan menyembah berhala, maka diganti dengan mengagungkan dan menyembah berhala.
2)        Pendidikan Al-Qur’an
Al – Quran merupakan intisari dan sumber pokok dari ajaran Islam yang disampaikan oleh Muhammad SAW kepada umatnya. Nabi Muhammad selalu menganjurkan  kepada para sahabatnya agar Al-Qur’an selalu dihafal dan dibaca dan diwajibkan membacanya dari ayat-ayatnya dalam shalat, sehingga kebiasaan membaca Al – Quran tersebut merupakan bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, menggantikan kebiasaaan syair-syair indah pada masa sebelum Islam.[14]
b.      Sedangkan pada fase Madinah materi yang diberikan cakupannya lebih kompleks dibandingkan dengan materi pendidikan pada fase Mekah, seperti :
1)      Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru menuju satu kesatuan sosial dan politik.
2)      Materi pendidikan sosial dan kewarganegaraan, terdiri dari pendidikan ukhuwah antara kaum muslimin dan pendidikan kesejahteraan.
3)      Materi pendidikan khusus anak-anak, meliputi; pendidikan tauhid, pendidikan shalat, pendidikan sopan santun dalam keluarga, sopan santun dalam masyarakat, dan pendidikan kepribadian.
4)      Materi pendidikan pertahanan dan ketahanan dakwah Islam.

4.      Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran ialah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pembelajaran. Oleh karena itu, peranan metode mengajar adalah sebagai alat untuk  menciptakan proses belajar dan mengajar. Dengan adanya metode, diharapkan terciptanyakegiatan belajar mengajar yang menarik.Dalam interaksi ini guru-guru berperan sebagai fasilitator, sedangkan siswa berperan sebagai yang dibimbing. Proses ini akan berjalan baik jika banyak siswa yang aktif. Oleh karenanya, metode mengajar yang baik adalah metode yang dapat menumbuhkan keaktifan belajar siswa.[15]
Untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar, Rosulullah SAW menggunakan bermacam-macam metode. Hal itu dilakukan untuk menghindari kebosanan dan kejenuhan. Di antara metode yang diterapkan Rosulullah adalah:[16]
a.    Metode ceramah
b.    Metode dialog, misalnya dialog antara Rosulullah dengan Mu’adz ibnu Jabal ketika Mu’adz akan diutus sebagai qadli di negeri Yaman.
c.    Metode diskusi atau tanya jawab, sering sahabat bertanya kepada Rosulullah tentang suatu hukum, dan Rosulullah menjawabnya. Contoh lain yaitu diskusi antara Rosulullah dan para sahabatnya tentang hukuman yang akan diberikan kepada tawanan perang Badar.
d.   Metode demonstrasi, misalnya hadits Rosulullah “Sholatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku sholat
e.    Metode eksprimen, metode sosiodrama, dan bermain peran.
Pemberian materi pendidikan dapat juga tergambar dari sikap Rosulullah SAW ketika terjadi prosess pembelajaran antara Jibril yang berperilaku sebagai murid dan Rosulullah sebagai pendidik. Konsep tersebut dapat tegambar dari apa yang telah dikemukakan oleh Najib Khalid Al-Amr, dengan mengutip suatu hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab. Hadits tersebut menggambarkan bahwa kondisi, situasi,sikap, dan sifat, serta posisi Rosulullah SAW sebagai guru menggambarkan seorang pendidik yang menguasai strategi dan metode pendidikan.Rosulullah duduk di hadapan Jibril membawa pertanyaan sesuai dengan kemampuannya.Apabila persoalan tidak diketahui jawabannya secara pasti, maka Rosulullah tidak malu untuk mengatakan tidak tahu.Rosulullah mendengarkan dengan seksama dan teliti terhadap pertaanyaan yang diajukan oleh Jibril, sehingga beliau mampu menjawabnya dengan tepat pula. Hal ini menggambarkan kondisi pelaksanaan pendidikan yang kondusif.[17]
Nilai-nilai yang dapat diambil dari sikap sang murid terhadap pendidikan Islam dari hadits tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut ini :
a.       Pertanyaan yang diberikan harus jelas
b.      Pertanyaan yang disampaikan harus singkat
c.       Persiapan jasmani dan rohani untuk menuntut ilmu
d.      Siap mendengarkan dengan baik setelah menyampaikan pertanyaan
e.       Tenang dalam menyampaikan pertanyaan-pertanyaan dan tidak disampaikan sekaligus
f.       Pertanyaan yang disampaikan harus bermanfaat
g.      Susunan yang disampaikan harus akurat dan ilmiah
h.      Pemilihan waktu yang tepat untuk bertemu dengan guru dan duduk mendekat dengan guru
i.        Posisi duduk murid yang sopan
Selain itu, Metode Rosulullah SAW dalam mendidik anak dapat dilihat  dari arti hadits beruikut ini:Anas RA berkata, “ Rosulullah SAW adalah orang yang paling baik akhlaknya. Aku punya saudara yang dipanggil Abu Umair, dia anak yang sudah dipisahkan dari susuan. Jika datang, beliau berkata “wahai  Abu Umair apa yang dilakukan nughair (burung kecil) “. Kadang-kadang beliau bermain dengan dia. Jika tiba saat shalat sementara beliau berada di rumah kami, beliau meminta permadani yang ada dibawahnya, lalu permadani itu beliau sapu dan ditiup-tiup. Kemudian beliau berdiri dan diikuti oleh kami di belakangnya”. (HR. Buhkari, Muslim, Turmidzi, dan Abu Daud).[18]
Nilai-nilai yang dapat diambil dari metode Rosulullah SW dalam mengajar anak usia dini adalah sebagai berikut :
a.         Meluangkan waktu untuk bermain dengan anak-anak
b.         Memperaktekkan amal untuk bisa berbuat bersih secara iman dan berperilaku nyata
c.         Shalat Rasulullah didalam rumah menanamkan pemahaman teladan dalam urusan ibadah
d.        Kalimat yang diucapkan oleh Rasulullah SAW, “Wahai Abu Umair, apa yang dikerjakan Nughair?” punya beberapa faidah di antaranya: kata-kata yang cocok dengan jiwa, mudah dihafal, dan mudah diucapkan.
e.         Turunnya Rasulullah ke atas intelek anak bisa membuahkan rasa optimis  pada diri anak
f.          Memakai cara dengan panggilan. Teori ini dapat memberikan kesan kepada keluarga bahwa anaknya sudah dewasa
Berbeda dengan metode Rosulullah SAW dalam mendidik anak pada usia puber, seperti yang dapat dilihat dari hadits berikut: Abi Umamah dalam hadis riwayat Ahmad, menceritakan bahwa seorang pemuda telah datang menghadap Nabi SAW, seraya berkata “Wahai Rosulullah, izinkanlah aku berzinah”, orang-orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, “Celaka engkau, celaka engkau!” Rosulullah mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya. Kemudian terjadilah dialog yang panjang antara Rosulullah SAW dengan pemuda itu. Rosulullah SWA berkata “Apakah engkau ingin hal itu (zina) terjadi pada ibumu?” Pemuda itu menjawab “Sekali-kali tidak, demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan”. Rosulullah SAW kembali berkata “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal itu terjadi pada ibu mereka. Apakah engkau ingin hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?” Pemuda itu itu menjawab “Sekali-sekali tidak, demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan”. Rosulullah SAW kembali berkata “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal ini terjadi pada sudari-saudari mereka. Apakah engkau ingin hal ini terjadi pada saudara perempuan bapakmu?” Pemuda itu menjawab “Sekali-sekali tidak, demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan”. Rosulullah SAW kemabali berkata “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal ini terjadi pada saudara perempuan bapakmu. Apakah engkau ingin hal ini terjadi pada saudara perempuan ibumu?” Pemuda itu menjawab “Sekali-kali tidak, demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan”.Rosulullah SAW kembali berkata “Begitu pula orang lain, tidak ingin hal ini terjadi pada saudara perempuan ibu mereka”. Kemudian Rosulullah memegang dada pemuda itu seraya bersabda “Ya Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan periharalah kemaluannya!”. setelah peristiwa itu, pemuda tadi menjadi orang yang arif ”.[19]
Nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil dari metode Rosulullah dalam mengajar anak usia puber di atas sebagai berikut :
a.         Mengajak anak usia puber untuk mendiskusikan inti permaslahan sehingga pikirannya tidak terpecah.
b.         Rosulullah SAW menguasai aspek psikis anak usia puber.
c.         Rosulullah SAW membuka dialog dengan anak usia puber.
d.        Rosulullah SAW memberikan pertanyaan yang jumlahnya banyak dan banyaknya pertanyaanakan menambah dalil dan alasan.
e.         Diskusi dilakukan dengan sistem tanya jawab.
f.          Memusatkan dan mengkonsentrasikan pikiran anak usia puber pada pertanyaan yang dilontarkan.
g.         Menumbuhkan interaksi esenssial antara pendidik dan anak usia puber.
h.         Jawaban dari anak usia puber bisa dikategorikan sebagai dalil ilmiah atas dirinya.

5.      Evaluasi Pendidikan
Nana Sudjana mengatakan bahwa, untuk dapat menentukan tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan usaha atau tindakan evaluasi. Evaluasi pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atan harga atau berdasarkan kriteria tertentu. Proses belajar dan mengajar adalah proses yang bertujuan. Tujuan tersebut menyatakan dalam rumusan tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Hasil yang diperoleh dari penilaian dinyatakan dalam bentuk hasil belajar. Oleh karena itu, tindakan atau kegiatan tersebut dinamakan penilaian akhir belajar.
Dalam menjalankan misi pendidikan, untuk melihat tingkat atau kadar penguasaan sahabat terhadap materi pelajaran, Nabi SAW juga mengevaluasi sahabat-sahabatnya. Dengan mengevaluasi para sahabat, Rosulullah SAW mengetahui kemampuan para sahabat dalam memahami ajaran agama atau dalam menjalankan tugas. Untuk melihat hasil pembelajaran yang dilaksanakan, Rosulullah sering mengevaluasi hafalan para sahabat dengan cara menyuruh mereka untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur’an di hadapannya dengan membetulkan hafalan dan bacaan mereka yang salah. Nabi juga mengevaluasi kemampuan sahabat untuk dijadikan utusan ke suatu daerah mengajarkan agama Islam, misalnya dialog antara Rosulullah SAW dengan Mu’adz Ibnu Jabal ketika Mu’adz akan diutus sebagai qadli ke negeri Yaman. Rosulullah SAW bertanya kepada Mu’adz bagaimana ia memutuskan suatu perkara yang muncul di tengah-tengah umat. Mu’adz menjawab apabila hendak memutuskan suatu perkara, pertama kali berlandaskan kepada Al-Qur’an, bila tidak didapati dalam Al-Qur’an baru memutuskan berdasarkan Hadis Rosulullah SAW.  Apabila tidak didapati pada keduanya kemudian memutuskannya menggunakan metode ijtihad. Rosulullah senyum tanda menyetujui dan percaya akan kompetensi Mu’adz sebagai utusan ke negeri Yaman. Evaluasi juga dapat dilakukan dengan cara bertanya tentang sesuatu masalah hukum secara langsung kepada Rasulullah, lalu Rasulullah menjawabnya.[20]
Di samping menguji pemahaman sahabat tentang ajaran agama, Rosulullah juga dievaluasi oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril AS. Sebagaimana kisah kedatangan malaikat Jibril kepada Nabi SAW, ketika beliau sedang mengajar para sahabat di suatu majlis. Malaikat Jibril menguji Nabi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pengetahuan beliau tentang rukun Islam dan jawaban Nabi selalu dibenarkan oleh utusan Allah itu. Berbagai peristiwa lainnya ialah berulang kalinya malaikat Jibril datang kepada Nabi dalam wujud manusia biasa, berpakaian jubah putih, untuk menguji sejauh mana hafalan Nabi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tetap konsisten dan terpercaya dalam hafalan beliau.
Jika dilihat dari teori taksonomi Benjamin S. Bloom, maka jelaslah bahwa pcychological domains yang dijadikan sebagai sasaran evaluasi Nabi sebagai pelaksana pemerintah Tuhan sesuai wahyu yang diturunkan kepada beliau lebih menitik beratkan pada kemampuan dan kesediaan manusia mengamalkan ajaran-Nya, dimana faktor psikomotorik menjadi tenaga penggeraknya.
Adapun sistem pengukuran (measurement) yang digunakan Nabi sendiri tidak menggunakan sistem laboratorial seperti dalam dunia ilmu pengetahuan modern sekarang. Namun prinsip-prinsipnya menunjukkan bahwa sistem measurement juga terdapat dalam hadis Nabi. Nabi SAW melakukan pengukuran terhadap perilaku manusia dengan tanda-tanda seseorang yang beriman ialah mencintai orang lain sesama Mukmin, seperti mencintai dirinya sendiri dan mukmin lainnya. Jadi, sistem pengukuran Nabi terhadap perilaku manusia bukan secara kuantitatif (dengan angka), melainkan bersifat kualitatif.
Berdasarkan dari tinjauan historis di atas, menurut penulis bahwa pendidikan yang diterapkan Rosulullah SAW, merupakan pendidikan yang telah  berhasil dalam mencapai tujuan utamanya. Terbukti dengan munculnya para sahabat yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karena itu, sistem pendidikan yang diterapkan Rosulullah menurut penulis, banyak yang masih relevan diterapkan pada era modern sekarang ini. Misalnya, konfigurasi duduk para siswa dalam sistem halaqah, sistem evaluasi, dan metode pengajaran sebagaimana telah dijelaskan di atas.[21]

B.       Perbedaan Pokok Pendidikan Islam Periode Makkah dan Madinah
1.      Periode kota Makkah:
Pokok pembinaan pendidikan islam di kota Makkah adalah pendidikan tauhid, titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap individu muslim, agar jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Periode kota Madinah:
Pokok pembinaan pendidikan islam di kota Madinah dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik. Yang pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Makkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran tauhid, sehingga akhirnya tingkah laku sosial politiknya merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut.[22]

C.    Kebijakan Rasulullah Dalam Bidang Pendidikan
Untuk melaksanakan fungsi utamanya sebagai pendidik, Rasulullah telah melakukan serangkaian kebijakan yang amat strategis serta sesuai dengan situasi dan kondisi.
Proses pendidikan pada zaman Rasulullah berada di Makkah belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal yang demikian belum di mungkinkan, karena pada saat itu Nabi Muhammmad belum berperan sebagai pemimipin atau kepala Negara, bahkan beliau dan para pengikutnya berada dalam bayang-bayang ancaman pembunuhan dan kaum kafir Quraisy. Selama di Makkah pendidikan berlangsung dari rumah ke rumah secara sembunyi-sembunyi. Diantaranya yang terkenal adalah rumah Al- Arqam. Langkah yang bijak dilakukan Nabi Muhammad SAW pada tahap awal islam ini adalah melarang para pengikutnya untuk menampakkan keislamannya dalam berbagai hak. Tidak menemui mereka kecuali dengan cara sembunyi-sembunyi dalam mendidik mereka.
Setelah masyarakat Islam terbentuk di Madinah barulah, barulah pendidikan islam dapat berjalan dengan leluasa dan terbuka secara umum.  Kebijakan yang telah dilakukan Nabi Muhammmad ketika di Madinah di antaranya:
1.      Membangun masjid di Madinah. Masjid inilah yang selanjutnya digunakan sebagai pusat kegiatan pendidikan dan dakwah.
2.      Mempersatukan berbagai potensi yang semula saling berserakan bahkan saling bermusuhan. Langkah ini dituangkan dalam dokumen yang lebih popular disebut piagam Madinah. Dengan adanya piagam tersebut terwujudlah keadaan masyarakat yang tenang, harmonis dan damai.[23]










BAB III
KESIMPULAN

Pola pendidikan pada zaman Nabi dapat dibedakan menjadi 2 tahap, baik dari segi waktu dan tempat penyelenggaraan, maupun dari segi isi dan materi pendidikannya, yaitu :
a.         Tahap/fase Makkah, sebagai awal pembinaan pendidikan Islam, dengan Makkah sebagai pusat kegiatannya
b.        Tahap/fase Madinah, sebagai fase lanjutan pembinaan/pendidikan Islam dengan Madinah sebagai pusat kegiatannya.
Lembaga pendidikan Islam pada fase Makkah ada dua tempat, yaitu: Darul Arqam/rumah Arqam ibn Arqam dan Kuttab. Kuttab adalah lembaga pengajaran baca tulis untuk anak-anak (tingkat dasar), terutama membaca Al-Qur’an.
Kurikulum pendidikan Islam pada periode Rosulullah SAW baik di Makkah maupun Madinah adalah Al-Qur’an, yang Allah wahyukan  sesuai dengan kondisi, situasi, kejadian dan peristiwa yang dialami umat Islam saat itu. Mahmud Yunus mengklasifikasikan materi pendidikan menjadi dua macam, yaitu materi pendidikan yang diberikan di Makkah dan materi pendidikan yang diberikan di Madinah.  Pada fase Makkah terdapat empat macam intisari materi yang diberikan, yaitu: Pendidikan Keagamaan, Pendidikan Aqliyah dan Ilmiah, Pendidikan Akhlak dan Budi Pekerti, dan Pendidikan Jasmani atau Kesehatan. Pada fase Madinah terdapat lima macam intisari materi yang diberikan, yaitu: Pendidikan keimanan, Pendidikan ibadah, Pendidikan akhlak, Pendidikan kesehatan(jasmani), dan Pendidikan kemasyarakatan (sosial).
Untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar, Rosulullah SAW menggunakan bermacam-macam metode.Hal itu dilakukan untuk menghindari kebosanan dan kejenuhan. Di antara metode yang diterapkan Rosulullah adalah:
a.         Metode ceramah
b.        Metode dialog
c.         Metode diskusi atau tanya jawab
d.        Metode demonstrasi
e.         Metode eksprimen, metode sosiodrama, dan bermain peran.

Untuk melihat hasil pengajaran yang dilaksanakan Rasulullah sering mengevaluasi hafalan para sabahat dengan cara menyuruh para sahabat membacakan ayat-ayat Al-Quran dihadapannya dengan membetulkan hafalan dan bacaan mereka yang keliru. Di samping itu menguji pemahaman sahabat tentang ajaran agama.
Perbedaan pokok pendidikan islam periode makkah dan madinah yakni, dalam periode Makkah pokok pembinaan pendidikan islam adalah pendidikan tauhid. Sedangakan Pokok pembinaan pendidikan islam di kota Madinah dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik.
Untuk melaksanakan fungsi utamanya sebagai pendidik, Rasulullah telah melakukan serangkaian kebijakan yang amat strategis serta sesuai dengan situasi dan kondisi. Proses pendidikan pada zaman Rasulullah ketika berada di Makkah belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal yang demikian belum di mungkinkan, karena pada saat itu Nabi Muhammmad belum berperan sebagai pemimipin atau kepala Negara, bahkan beliau dan para pengikutnya berada dalam bayang-bayang ancaman pembunuhan dan kaum kafir Quraisy. Setelah masyarakat Islam terbentuk di Madinah barulah, barulah pendidikan islam dapat berjalan dengan leluasa dan terbuka secara umum.  Kebijakan yang telah dilakukan Nabi Muhammmad ketika di Madinah di antaranya: membangun masjid di Madinah dan mempersatukan berbagai potensi yang semula saling berserakan bahkan saling bermusuhan. Langkah ini dituangkan dalam dokumen yang lebih popular disebut piagam Madinah.










DAFTAR PUSTAKA

Fanani. Mustofa. Dkk. 2003. Nizamia Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam. Surabaya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel.
Mufy. 2009. Pendidikan pada Masa Rasulullah (Online). (http://assosunila.blogspot.com/2012/06/makalah-pendidikan-islam-pada-masa.html. Diakses Tanggal 13 Maret 2013).
Nizar, Samsul. 2011. Sejarah pendidikan islam. Jakarta: Kencana.
Rif’an. 2012. Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Rasulullah (Online). (http://makinmaju.wordpress.com/2012/05/11/konsep-pendidikan-islam-di-masa-rasulullah/. Diakses Tanggal 13 Maret 2013).
Santi. 2013. Sejarah Pendidikan Islam pada masa Rasulullah (Online). (http://pandidikan.blogspot.com/2011/04/pendidikan-islam-pada-masa-rasulullah.html. Diakses Tanggal 13 Maret 2013).
Soekarno. Supardi, Ahmad. 1990. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa Bandung.
Sudjana, Nana. 2004. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Zuhairini. 2006. Sejarah pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.




[1] Nizamia, Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam (Surabaya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2003), 83
[2] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 21
[3] Ibid., 22
[6] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam , 21
[7] Nizamia, Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 84
[8] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Kencana, 2011), 7-8
[9] Nizamia, Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 85
[10] Soekarno dan ahmad supardi, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Angkasa Bandung, 1990), 31
[11] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam , 27
[12] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 13
[13] Ibid., 13-14
[14] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam , 30
[15] Nana sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), 76
[16] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 16
[17] ibid., 18
[18] Ibid., 20
[19] Ibid., 21
[20] Ibid., 23
[21] Ibid., 24
[22] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam , 33
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar